Friday, March 23, 2018

[Bukan Review] LOVE FOR SALE (Spoiler)




Sutradara: Andibachtiar Yusuf
Produser: Angga Dwimas Sasongko, Chicco Jerikho

Pertama-tama, film ini 21 tahun ke atas.
Ini bukan guyonan. Layar LSF sebelum film dimulai berwarna merah dan tulisannya menyatakan 21 tahun ke atas. Dengan kata lain, adik-adik yang masih SMU pun tak boleh menonton film ini.

Namun sejujurnya, film ini tidak layak dapat klasifikasi kejam 21 tahun ke atas kecuali untuk bagian sensitif non-seks dan itupun kalau sadar. Adegan seks, ya... sudah bisa diperkirakan ada, tetapi tidak banyak dan sebenarnya bahkan durasinya sangat singkat. Biar bagaimanapun, ini bukan film tentang seks.

Seperti yang bisa dilihat dari judulnya (dan iklannya), "cinta" di sini tidak nyata. Mungkin dari judul film atau dari iklan, kita akan geli, betapa bodohnya si karakter utama jatuh cinta pada wanita yang jelas-jelas ia "sewa". Mungkin ada yang kemudian menganggap film ini "contekan" dari "Pretty Woman" yang tersohor dari awal 90an, yaa... premis awal punya kemiripan tetapi film ini berkembang yang berbeda. Mungkin ada juga yang merasa film ini mirip dengan Her yang diperankan Joaquin Phoenix, dan ya... premis awalnya juga punya kemiripan tetapi akhirnya mungkin sedikit beda.

Kurasa, yang membedakan antara film ini dengan film-film dengan premis serupa adalah film ini mengajak berpikir, untuk apa sih jatuh "cinta"? Apakah "cinta" itu membuat diri korbannya berubah? Apakah "cinta" itu nyata seandainya obyek cintanya palsu ? Ketika si korban tersentak dari ilusinya, apakah berarti jatuh cinta itu bentuk dari perilaku sia-sia ?

Seusai menonton film ini, sejenak saya merenung, bukankah dalam kehidupan kita banyak sekali cinta pada hal yang kita anggap nyata tetapi bisa jadi sekedar ilusi belaka. Cinta tanah air misalnya, bukankah negeri ini berdiri di atas ide belaka. Kita bahkan tak tahu apakah negeri ini benar-benar mencintai kita walaupun kita sering dijejali propaganda untuk mencintai negeri ini. Apa yang membuat tanah air kita lebih layak dicintai daripada negeri orang lain? Kelak ketika kita menjadi korban ketidakadilan negeri ini dan dimusuhi mayoritas penduduk negeri ini, apakah kemudian rasa "cinta tanah air" yang selama ini kita tumbuhkan menjadi sebuah hal yang sia-sia belaka sejak awal? Jangan-jangan cinta tanah air itu tak lebih dari sekedar transaksi barter, "gue cinta ama tanah air, rela berkorban demi tanah air, selama tanah air memberikan kenyamanan buat gue".

Mungkin terlalu jauh membawa film ini ke ranah politik tetapi beberapa unsur sosial politik menyelinap ke dalam celah-celah kehidupan karakternya. Karakternya adalah sosok "Tionghoa" pemilik toko, yang memiliki teman-teman gaul nobar di kafe-kafe tetapi ketika ingin curhat, tempat mengutarakan uneg-unegnya adalah seorang konservatif yang doyan mengutip ayat-ayat Al-Quran dan tidak sungkan menunjukkan ideologi "Indonesia Tauhid"-nya. Bahkan identitas ke-Tionghoa-an karakter utamanya pun juga masih bisa dipertanyakan lagi dari dialog di tengah-tengah film.

Berbicara tentang cinta palsu, film ini bahkan di awal sempat menampilkan sebuah relasi "cinta" singkat, punah sebelum berkembang, dengan iringan dominasi "relasi kuasa" antara pihak laki-laki dan wanita. Ketika sang laki-laki menampilkan kekuasaan dalam hubungan mereka, sang wanita menangis tak bisa membela diri bahkan sukar berkata-kata. Sumpah, rasanya pengen nimpuk si laki-laki dominan yang tak lain adalah karakter utamanya, memanfaatkan hubungan 'bos - anak buah' karena kegagalan dia menjalin hubungan setara dengan wanita-wanita lain. Bahkan sebenarnya, awal hubungan "cinta" yang jadi plot utamanya juga diawali dengan sebuah relasi kuasa yang timpang, antara klien dan pemberi jasa.

Jika ada waktu, uang, dan pasangan (jomblo pun boleh tetapi lebih afdhol menonton ini berpasangan), maka tontonlah film "romantis" tak biasa dengan ketimpangan strata sosial dan nikmati bagaimana seorang pria jatuh cinta tanpa ia sangka sebelum ilusi cintanya hancur berkeping-keping. Tenang, tidak ada adegan tusuk-tusukan berdarah-darah 'ala psikopat dalam film ini.

PS: Film ini diproduseri oleh orang yang membawa Filosofi Kopi dan Buka'an 8 jadi jangan heran kalau ada poster film Filosofi Kopi nongol atau percakapan WA 'ala Buka'an 8. Selain itu, film ini dibuat oleh sutradara gila bola yang sudah bikin film-film tentang bola dari dokumenter, kisah cinta berlandaskan fanatisme bola, hingga kisah fiktif korupsi di jagat sepak bola, jadi jangan heran kalau banyak unsur sepak bola di film ini.

0 comments: