Friday, January 26, 2018

[Bukan Review] THE GREATEST SHOWMAN *spoiler*

Secara pribadi, menyadari film ini berjenis musikal, menontonnya sedikit membuatku kecewa. Aku punya harapan tinggi tetapi semua rontok kecuali beberapa adegan. Tapi bisa jadi itu semata karena aku sudah menua, tak sanggup menonton gaya sunting potong cepat (quick cut editing).

Tanpa Wikipedia, tanpa google, semata dari film semata, aku sok menerka "perlawanan" di film ini. Kisahnya mengambil masa Victoria muda, yang masih berpikiran maju (belum kolot), belum menikah dengan Pangeran Albert.

Di masa ini, kaum kapitalis sedang mencoba meraih tempatnya sementara kaum aristokrat mencoba mempertahankan posisinya. Tokoh utama film ini adalah sosok proletar yang menjelma menjadi kapitalis namun masih memiliki dendam ingin dihormati kaum aristokrat. Walau ia sudah memiliki modal besar, dendamnya membara melihat anaknya dilecehkan "bau kacang" oleh kawan-kawan balet yang rata-rata dari para aristokrat.

Tokoh utama sang kapitalis, berhasil menarik aristokrat muda menanggalkan kastanya, warisannya, dan bersama-sama mengais rezeki dengan mengeksploitasi kaum yang terpinggirkan antara lain para cacat tubuh hingga hasil campur ras.

Bisnis mereka sukses, dengan pangsa pasar para kapitalis lain dan kelas menengah namun kerja mereka tak disukai kelas aristokrat maupun kelas proletar. Bagi kelas aristrokat, usaha sirkus mereka tak lebih dari sekedar upaya tipu-menipu sementara bagi para proletar, usaha berbasis eksploitasi mahluk terpinggirkan ini tak lebih dari penyebaran kesesatan.

Phineas, sang tokoh utama, berhasil merayu seorang penyanyi opera kelas atas untuk melakukan pertunjukan tunggal. Melihat akhirnya ia sukses menarik perhatian kaum aristokrat, ia tertarik memanfaatkannya walau - - dasar kapitalis - - dengan mengeksploitasi seniman-seniman miskin agar untung yang didapat lebih tinggi.

Sementara itu, usaha eksploitasi orang-orang terpinggirkannya terlantar, hanya diserahkan pada rekan muda aristokrat yang jatuh cinta pada wanita ras campur. Rekan muda aristokrat ini tak tahu rasanya menjadi kaum bawah dan ia tak punya kemampuan menghadapi proletar konservatif yang berunjuk rasa.

Singkat cerita, bencana pun terjadi dan sang kapitalis pun bangkrut. Di akhir cerita, sang kapitalis menerima takdir bahwa kelasnya adalah kelas kapitalis dan ia tak perlu mencoba menjadi aristokrat. Sementara sang rekan aristokratnya menerima kenyataan bahwa dengan berpindah menjadi kapitalis, ia justru menemukan cinta dan hasratnya dan ia rela kehilangan warisan untuk itu.

Jadi, ya The Greatest Showman bisa ditafsirkan sebagai propaganda kapitalisme. Film ini menjual mimpi bahwa seorang proletar bisa naik kelas menjadi kapitalis. Film ini juga mengajarkan, eksploitasi orang-orang terpinggirkan bisa menjadi bentuk upaya "kemanusiaan" dengan menampilkan mereka di depan penuh percaya diri. Film ini juga mengritik para proletar konservatif yang menghambat upaya kapitalisme "memanusiakan" orang-orang terpinggirkan.

-- ditulis di Mikrolet 16 Ps Minggu - Kp Melayu

0 comments: