Wednesday, October 25, 2017

Hatta dan Orang-Orang Tionghoa



Tahun lalu, saya mendapatkan sebuah artikel yang konon berisi surat Bung Hatta terhadap AR Baswedan. Situs aslinya sudah tidak memuat surat tersebut namun surat tersebut masih dikutip di berbagai situs, blog, dan media sosial. Berikut isi artikel tersebut.

Surat Bung Hatta:*
Tentang Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab 1934
Sumpah Pemuda Keturunan Arab ini, yang berisikan:

1. Tanah Air Peranakan Arab adalah Indonesia.
2. Karenanya mereka harus meninggalkan kehidupan sendiri (isolasi).

Dengan sumpah ini, yang ditepati pula sejak itu dalam perjuangan nasional Indonesia menentang penjajahan sambil ikut dalam organisasi GAPI dan kemudian lagi ikut dalam peperangan kemerdekaan Indonesia dengan laskarnya denganmemberikan kurban yang tidak sedikit, ternyata bahwa pemuda Indonesia keturunan Arab, benar-benar berjuang untuk Kemerdekaan Bangsa dan Tanah Airnya yang baru.

Sebab itu tidak benar apabila warga negara keturunan Arab disejajarkan dengan WN turunan Cina. Dalam praktik hidup kita alami juga banyak sekali WNI turunan Cina yang pergi dan memihak kepada bangsa aslinya RRC, WN Indonesia keturunanArab boleh dikatakan tidak ada yang semacam itu. Indonesia sudah benar- benar menjadi tanah airnya.

Sebab itulah, salah benar apabila kedua macam WNI itu disejajarkan dalam istilah “nonpribumi”.
Jakarta, 24 November 1975

Mohammad Hatta
*Catatan asli surat tersebut ada pada A.R. Baswedan, Yogyakarta, Bapak Hari Kesadaran Bangsa Indonesia keturunan Arab dan Perintis Kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia.

Ternyata, surat tersebut sudah beredar lebih lama.  Bunyi surat tersebut, dalam bahasa Inggris, dikutip oleh Abdul Rachman Patji bulan Juni 1991 dalam halaman 14 tesis-nya "The Arabs of Surabaya: A Study of Sociocultural Integration" yang diajukan kepada Australian National University. Sayangnya, dalam tesis tersebut, tidak ada kejelasan dari buku apakah surat itu berasal ataukah si penulis melihat sendiri.

Saya sempat mengirimkan surel kepada info(at)aniesbaswedan.com pada 26 Oktober 2016 dan menyenggol Anies di Twitter pada tanggal 18 Oktober lalu namun tidak berbalas hingga kini.




Sementara menunggu jawaban dari keluarga Baswedan, saya mencoba melacak pendapat Bung Hatta tentang Tionghoa.

Salah satu informasi adalah tulisan Pramoedya Ananta Toer yang dibukukan dengan judul "Hoakiau di Indonesia", menyebutkan bahwa dalam sebuah majalah, Bung Hatta menulis artikel berjudul "Facets of Indonesia's Economy" dengan kutipannya:

The Indonesian was poor in the midst of overflowing wealth. Those with money were the foreigners who ruled the country; they had authority, capital, and their technical skill. Next to the Dutch, the best off were the Chinese, who were their chief helpers in business and administration, and formed, as it were, a middle class.

Terjemahan bebas: Orang-orang Indonesia dahulu sangat miskin di tengah-tengah kekayaan yang mengalir. Mereka yang memiliki uang adalah orang-orang asing yang menguasai negeri. Mereka memiliki otoritas, modal uang, dan kemampuan teknis. Setelah Belanda, yang di atas rata-rata adalah orang-orang Tionghoa, yang merupakan pembantu utama para Belanda dalam bidang bisnis dan administrasi, dan membentuk, saat itu, kelas menengah.

Pramoedya Ananta Toer mengritik keras kutipan itu dan menganggap Bung Hatta tidak tahu sejarahnya sendiri. Sejujurnya, kritikan Pramoedya benar, bahkan dalam masa kolonial, kita masih bisa menemukan orang-orang Tionghoa miskin. Jadi kurang tepat kalau mereka disamaratakan dalam cap sebagai "pembantu Belanda dalam bisnis dan administrasi".

Walau begitu, tulisan yang dikutip Pram adalah menjelaskan masa kolonial Belanda. Apa sih pendapat Bung Hatta tentang orang-orang Tionghoa di masa sekarang?

Mungkin saya awali dari kutipan beliau di buku "Hatta Menjawab" disunting dan diwawancara oleh Zainul Yasni tahun 1978.

Itulah hebatnya Cina ini.
Kalau jadi kapitalis betul-betul kapitalis.
Kalau jadi nasionalis betul-betul jadi nasionalis Indonesia.
Ada juga yang jadi orang agama dalam Muhammadiyah, betul-betul ia jadi alim.
Tetapi kalau jadi komunis Cina itu betul-betul jadi komunis tulen.

Saat mengatakan ini, Bung Hatta sebenarnya sedang memuji Tan Ling Djie, salah satu lawan politiknya, anggota PKI, yang sengaja mengurangi makan nasi sehingga sisa gajinya bisa diserahkan semua kepada partai.

Dari sini saja sudah jelas, Bung Hatta mengagumi komitmen orang-orang Tionghoa ketika individu-individu dari etnis ini mulai bersikap.

Kalau kita membaca polemik yang dilakukan Bung Hatta di masa kolonial, kita bisa melihat bahwa Bung Hatta menyadari peran-peran pers Tionghoa. Misalnya dalam penjelasannya tentang sikap Non-Kooperasi PNI baru (Daulat Ra'yat no 47, 30 Desember 1932), ia membaca pendapat lawan politiknya, Bung Karno, dalam surat kabar Tionghoa dan surat kabar Indonesia.


Pada tanggal 17 September 1946, Bung Hatta berpidato di depan kelompok Tionghoa. Beliau menyatakan bahwa kelompok-kelompok Tionghoa, karena posisi di masa lalunya sering dianggap sebagai perpanjangan kapitalisme asing bahkan di masa Jepang, bangsa Jepang masih memanfaatkan orang-orang Tionghoa ini sehingga kelompok Tionghoa masih menjadi penyangga. Lebih lanjut, beliau mengatakan -- saya menemukan pidato ini dalam buku berbahasa Inggris "Hatta: Portrait of Patriot" :

It is for this reason that there is still a feeling of dislike for the Chinese, a feeling which tends to become stronger. Often we hear people lamenting 'The Chinese are always in a good position. During the time of the Dutch colony, they were on top. During the Japanese occupation they were still on top. If the Japanese come to power, they will be protected by the Nanking government. If the Allies win, they will be protected by the Chunking government'. These are the feelings as expressed by the ordinary, every-day Indonesian. 

Terjemahan bebas: 
untuk alasan inilah, masih ada perasaan kebencian terhadap Cina, perasaan yang semakin menguat. Seringkali kita mendengar orang-orang mengeluh, "orang-orang Cina selalu dalam posisi bagus. Selama masa kolonial Belanda, mereka di atas. Selama masa penaklukkan Jepang mereka masih di atas. Jika Jepang berkuasa, mereka dilindungi Pemerintahan Nanking. Jika Sekutu menang, mereka dilindungi Pemerintahan Chunking". Inilah perasaan yang sering diutarakan oleh orang-orang Indonesia kebanyakan.

Namun apakah Bung Hatta setuju dengan pendapat kebanyakan itu?
Ternyata tidak. Dalam lanjutan pidatonya, ia mengutarakan:

It is this feeling which often creates hostility between the Indonesians and the Chinese. In peacetime these feelings of hostility can be avoided and abolished. You yourselves know the serious efforts which the government of the Republic of Indonesia made right from the beginning to create a feeling of brotherhood between the Indonesian people and the Chinese people. At first they were to some extent successful. But after the Dutch return to take control of Indonesia and after the considerable amount of fighting, when many Chinese were used as tools of the Dutch, either as policemen or as merchants, the anger against the Chinese rose again to such an extent that hostile action was taken against them. In particular I can say that the government of the Republic of Indonesia expresses its sincere regret for the incidents which have been experienced by the Chinese. We must not forget that the group whose desire it is to destroy the Republic of Indonesia was the group which instigated the people to fight against the Chinese especially around the battlefield. Foolish people and emotional people tend to get swept away by the provocation of the enemy. Because, let us face it, the aim of the enemy is to ensure that the Republic of Indonesia has a bad reputation in the matter of international relationships, the reputation of a nation which is unable to guarantee the security of foreigners residing in its territory. Because of the actions of these people, there are counter-actions on the part of the Chinese, especially in the regions ruled by the Allies. Consequently the relationships between the Indonesian and the Chinese people becomes confused and this in turn makes difficulties for the government.  
We are fully aware of this situation. It is not necessary to keep it in existence. Under the protection of the Constitution we must make all the necessary investigations so as to find out all the various reasons which are at the bottom of this situation so that we can find a remedy which will solve the problem and create an atmosphere of prosperity and goodwill.

Terjemahan ulang bebas:
Perasaan inilah yang sering menciptakan pertengkaran antara orang-orang Indonesia dan orang-orang Cina. Di masa damai, perasaan kebencian bisa dihindari dan dihilangkan. Kalian sendiri tahu betapa serius usaha Pemerintah Republik Indonesia sejak awal untuk menciptakan persaudaraan antara orang-orang Indonesia dan orang-orang Cina. Awalnya, usaha-usahanya tampak berhasil. Namun setelah Belanda datang untuk mengambil alih Indonesia dan setelah beberapa kali berseteru, ketika banyak orang-orang Cina dijadikan alat oleh Belanda, entah sebagai polisi atau pedagang, kemarahan terhadap orang-orang Cina bangkit lagi hingga ada aksi-aksi kebencian dilakukan terhadap mereka. Dengan ini, saya dapat mengatakan bahwa pemerintah Republik Indonesia menyatakan penyesalannya secara tulus terhadap insiden-insiden yang telah dialami oleh orang-orang Cina. Kita tak boleh lupa bahwa kelompok yang menginginkan hancurnya Republik Indonesia adalah kelompok yang memancing rakyat untuk melawan orang-orang Cina terutama di peperangan. Orang-orang bodoh dan emosional cenderung mudah tersapu oleh provokasi musuh. Karena itu, mari kita hadapi, tujuan musuh adalah memastikan bahwa Republik Indonesia memiliki reputasi buruk dalam hubungan internasional, reputasi sebuah bangsa yang tak bisa menjamin keamanan orang-orang asing dalam wilayahnya. Karena tindakan-tindakan orang-orang ini, ada tindakan balasan dari kaum Cina, terutama di daerah-daerah yang dikuasai Sekutu. Akibatnya, hubungan antara orang-orang Indonesia dan orang-orang Cina menjadi semakin membingungkan dan ini membuat kesulitan semakin sukar bagi pemerintah. 
Kami sangat menyadari situasi ini. Kita tidak harus membiarkannya berlarut-larut. Dalam perlindungan Undang-Undang Dasar, kita mesti membuat seluruh penyelidikan untuk menemukan semua alasan di bawahnya sehingga kita bisa menemukan obat yang memecahkan masalah dan menciptakan atmosfer kesejahteraan dan niat baik.

Bung Hatta melanjutkan bahwa ia percaya, masalahnya berawal pada ekonomi.

Perhaps I should clearly explain here that it is my conviction that it is impossible to reach a true solution to the 'Chinese problem' within the economic structure of capitalist colonialism nor within the politics of liberalism. In the capitalist colonial structure, the Chinese group are the wheel of the class struggle, which will feel every stress of the differences in the nation. Consequently the feeling of dislike for the Chinese will become stronger.  
But now we have a new structure, a new economic structure based on social prosperity. The economic life of the country will no longer be controlled by the private employers themselves, but must be coordinated by the Government and this in turn will create an ordered structure. The Government possesses full authority in regard to the coordination of production and the distribution of the goods which are produced.  
If the Chinese here can adapt themselves to fit in with the spirit of the new economy which forms the basis of the economy of the Republic of Indonesia, their position in the economy of Indonesia can be different from what it has been in the past. The Chinese and the Indonesians will no longer oppose one another. Even their economic powers can be coordinated by the Indonesian economic authority. The Chinese will cease to be an opposing party and will become a partner. In this way the 'Chinese Problem' will have disappeared. 

Terjemahan ulang bebasnya:
Mungkin saya harus menjelaskan lebih jernih bahwa keyakinanku mustahil mencapai penyelesaian sungguh-sungguh untuk 'masalah Cina' ini dalam struktur ekonomi kapitalis kolonial dan tidak pula dalam politik liberalisme. Dalam struktur kapitalis kolonial, kelompok-kelompok Cina adalah roda dari perjuangan kelas, yang akan merasakan seluruh tekanan perbedaan dalam negara. Dampaknya perasaan kebencian terhadap orang-orang Cina akan menguat. 
Tetapi sekarang kita memiliki struktur baru, struktur ekonomi berdasarkan kesejahteraan sosial. Kehidupan ekonomi dari negeri tidak lagi dikendalikan oleh pemilik modal swasta sendiri tetapi harus dikordinasikan oleh pemerintah dan selanjutnya akan menciptakan struktur teratur. Pemerintah memiliki otoritas penuh terhadap bagaimana kordinasi produksi dan distribusi barang yang dihasilkan. 
Jika orang-orang Cina bisa beradaptasi dengan jiwa ekonomi baru yang membentuk dasar ekonomi Republik Indonesia, posisi mereka dalam ekonomi Indonesia bisa berbeda dengan apa yang terjadi di masa lalu. Orang-orang Cina dan Indonesia tidak akan saling menyerang. Bahkan kekuatan ekonominya akan dikordinasikan oleh otoritas ekonomi Indonesia. Orang-orang Cina akan berhenti menjadi kelompok berseberangan dan menjadi rekan kerja. Dalam hal ini 'Masalah Cina' seharusnya terselesaikan.

Sejarah mencatat bahwa selama masa demokrasi liberal hingga masa orde baru, sejumlah eksperimen dilakukan oleh rezim untuk menciptakan struktur ekonomi baru di mana kelompok 'Tionghoa' tidak menjadi musuh seperti yang diimpikan Bung Hatta namun ternyata berkat korupsi yang terjadi pada rezim penguasa, ternyata malah menciptakan struktur serupa walau tak formal. Kita masih punya hutang untuk memecah struktur ini, bukannya dengan melestarikan piramida struktur sosial lama.

Kembali ke topik, masih dalam pidato yang sama, Bung Hatta menjelaskan kewarganegaraan orang-orang Tionghoa. Sekedar catatan, saat itu sedang berlaku UU no 3 tahun 1946 (diterbitkan 10 April 1946) di mana orang-orang Tionghoa secara pasif dianggap sebagai warga negara Indonesia kecuali bila mereka menolak. Bung Hatta menegaskan hal tersebut dalam pidatonya:

The Chinese who live here can generally speaking be classified into two groups. The first group consists of those who are citizens of the Republic of Indonesia. In the second place, we have those who are foreigners, who still regard themselves as fully Chinese.  
As citizens of the Republic of Indonesia, the Chinese group will obtain the same positions and the same rights as native Indonesians, in accordance with the provisions of Chapter 27 of the Principles of the Constitution of the Republic. In regard to the distribution of employment and the rational application of power. Chinese who are citizens of the Republic of Indonesia will get jobs and positions solely in accordance with their ability and intelligence. This does not constitute a problem, even though the Republic of Indonesia is now in need of manpower. Every employable person in our society will be made use of placed in work in a rational manner. These conditions will not only hold good in respect of the Chinese, but also will apply to all citizens of Dutch and Arab origin.  
As regards Chinese who refrain from becoming citizens of the Republic, the Republic which is based on a sense of social justice will be acting rather like the head of a family who shows a courteous and honourable attitude to visitors. There are still many obstacles of a political nature and there are still many difficulties in the way of solving these problems. But our strong desire for goodwill will be bound to succed in the future.  
Terjemahan ulang bebas:
Orang-orang Cina yang hidup di sini secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua grup. Grup pertama berisi mereka yang menjadi warga negara Republik Indonesia. Di tempat kedua, kita memiliki orang-orang asing, yang masih menganggap dirinya orang Cina sepenuhnya. 
Sebagai warga negara Republik Indonesia, kelompok Cina akan memiliki posisi dan hak yang sama sebagai pribumi Indonesia, sesuai bunyi pasal 27 dari Undang-Undang Dasar Republik tentang pekerjaan dan kekuasaan. Orang-orang Cina yang merupakan warga negara Republik Indonesia akan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan dan posisi-posisi hanya berdasarkan kemampuan dan kecerdasan mereka. Ini tidak akan menjadi masalah walaupun Republik Indonesia sekarang membutuhkan banyak tenaga kerja. Seriap orang yang bisa dipekerjakan dalam masyarakat kita akan diperkerjakan secara rasional. Kondisi ini tidak hanya berlaku untuk orang-orang Cina tetapi juga untuk semua warga negara berasal dari Belanda dan Arab. 
Mengenai orang-orang Cina yang tidak mau menjadi warga negara Republik, Republik ini yang dibangun berdasarkan keadilan sosial akan bersikap seperti kepala keluarga yang menunjukkan keramahan dan penghormatan kepada para pengunjung. Tentu saja akan ada masalah-masalah dari sisi politis dan akan ada kesulitan dalam memecahkan masalah-masalah ini. Tetapi keinginan kami untuk beriktikad baik akan menghasilkan kesuksesan di masa depan.

Pidato ini menunjukkan optimisme Bung Hatta tentang orang-orang Cina. Sayangnya, perjalanan sejarah kelak mengubah stelsel pasif menjadi stelsel aktif yang kelak mengasingkan orang-orang Tionghoa dan menjadi alat pemerasan buat mereka.

Tentu saja menjadi pertanyaan,
setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, setelah UU kewarganegaraan baru ada dan setelah terbitnya PP 10 tahun 1959, apakah Bung Hatta masih berpandangan sama tentang keturunan Tionghoa?

Dalam Asian Survey vol V no 3 yang terbit Maret 1965, ketika membahas tentang Malaysia, Bung Hatta menyinggung perilaku orang-orang Tionghoa di Indonesia dan membandingkannya dengan orang-orang Cina di Malaysia.

The attitude of the overseas Chinese in Malaya is completely different from their counterparts in Indonesia. The 'Tionghoa peranakan' (the Chinese who have lived here for generations) do not want to be called Chinese, but consider themselves as Indonesian citizens of Chinese descent. Generally speaking, their feelings are those of Indonesian nationals, with the same national ideals. Their grandparents may still speak Chinese, but they themselves do not. Before Indonesian became the national language -- that is, in the former Netherlands Indies -- the Chinese used to speak the language of the region in which they lived. If they were born in Central or East Java, they spoke Javanese. If they were born in West Java, they spoke Sundanese. If they were born in Minangkabau, they spoke Minangkabau. Chinese intellectuals and those with Western education learned to speak Dutch and 'pasar' Malay, over and above their own regional language. In those days, the Chinese newspaper were written in 'pasar' Malay or in 'Chinese-Malay', a mixed language closely related to Malay. These language no longer exist and have since been replaced by the Indonesian language.  
Why is there such a difference in mentality between the overseas Chinese in Malaya and those in Indonesia? The reason is that before World War II there was no national movement demanding an independent Malaya. This national feeling only came into existence after the emergence of several new independent and sovereign nations in Southeast and South Asia. During the Dutch colonial period a national movement had already become active in Indonesia, and exerted a strong influence upon the Chinese community in Indonesia. In addition, this national movement and the Partai Serikat Islam, which included a number of Chinese among its membership, the Partai Tionghoa-Indonesia, a 'Tionghoa-Peranakan' party under the leadership of Liem Koen Hian, was also striving towards Indonesian independence; its members wanted to give up Chinese nationality and become Indonesian citizen once Indonesia became free. Thus, the Indonesian freedom movement during the Dutch colonial period influenced the development of Indonesian national feelings among the Chinese in Indonesia. At present they no longer like to be called Chinese, but only Indonesians. The course of history in Indonesia has gradually made them real Indonesians. Only their names remind one of the country from which their ancestors came; their language and way of life are Indonesian.  
Terjemahan Bebas:
Perilaku orang-orang Cina perantauan di Malaya sangat berbeda dengan saudara-saudara mereka di Indonesia. Para 'Tionghoa Peranakan' (orang-orang Cina yang sudah tinggal di Indonesia selama beberapa generasi) tidak mau dipanggil Cina, tetapi menganggap mereka sebagai warga negara Indonesia keturunan Cina. Umumnya, perasaan mereka adalah perasaan nasionalis Indonesia, dengan ide nasionalis yang sama. Kakek-kakek mereka mungkin masih berbahasa Cina tetapi mereka sendiri sudah jarang. Sebelum bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional -- yakni, di masa Hindia Belanda -- orang-orang Cina sudah menggunakan bahasa di mana mereka tinggal. Jika mereka tinggal di Jawa Tengah atau Jawa Timur, mereka berbicara bahasa Jawa. Jika mereka lahir di Jawa Barat, mereka berbahasa Sunda. Jika mereka lahir di Minangkabau, mereka berbahasa Minang. Para intelektual Cina dan mereka yang menerima pendidikan barat belajar berbahasa Belanda dan Melayu 'pasar'; lebih sering dan lebih utama dibandingkan bahasa daerah mereka. Di hari-hari itu, koran-koran Cina ditulis dalam bahasa Melayu Pasar atau dalam bahasa Melayu Cina, bahasa campuran yang lebih dekat ke bahasa Melayu. Bahasa-bahasa ini kini sudah tiada dan sudah digantikan oleh bahasa Indonesia. 
Mengapa ada perbedaan sikap mental antara Cina perantauan di Malaysia dan di Indonesia? Alasannya adalah sebelum Perang Dunia II, tidak ada pergerakan nasional yang menginginkan Melayu merdeka. Perasaan ini baru muncul setelah timbulnya beberapa negara merdeka di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Selama masa kolonial Belanda, pergerakan nasional sudah menjadi aktif di Indonesia dan menimbulkan pengaruh pada komunitas Cina di Indonesia. Apalagi, pergerakan nasional ini dan Partai Serikat Islam -- yang juga memiliki sejumlah orang Cina sebagai anggota --, Partai Tionghoa-Indonesia, partai Tionghoa Peranakan di bawah kepemimpinan Liem Koen Hian, juga berjuang untuk Indonesia merdeka; anggota-anggotanya rela menyerahkan kebangsaan Cina dan menjadi warga negara Indonesia begitu Indonesia merdeka. Karena itu, pergerakan kemerdekaan Indonesia selama masa kolonial Belanda mempengaruhi perasaan kebangsaan Indonesia di antara orang-orang Cina di Indonesia. Saat ini, mereka sudah tidak mau disebut Cina tetapi hanya sebagai orang Indonesia. Perjalanan sejarah Indonesia secara berangsur-angsur telah menjadikan mereka orang Indonesia asli. Hanya nama-nama mereka yang mengingatkan asal-usul nenek moyang mereka; (sementara) bahasa dan cara hidup mereka adalah orang Indonesia.

Pendapat ini dikemukakan oleh Bung Hatta ketika budaya-budaya Tionghoa belum diberangus oleh orde baru dan orang-orang Tionghoa belum "dianjurkan" penguasa untuk mengganti nama. Walau begitu, Bung Hatta sudah mengakui ke-"pribumi"-an orang-orang Tionghoa Indonesia.

Dengan banyaknya tulisan-tulisan Bung Hatta dalam berbagai kesempatan yang mengagumi orang-orang Tionghoa, sukar dipercaya Bung Hatta membedakan keturunan Tionghoa dengan keturunan Arab.


Bacaan lebih lanjut:
1. Pramoedya Ananta Toer. Hoakiau di Indonesia. Pertama terbit sebagai artikel berkala di masa orde lama. Sekarang sudah dibukukan.
Pram dengan cemerlang menceritakan bagaimana para Tionghoa datang dari masa sebelum Belanda dan bagaimana kegiatan mereka hingga masa ditulisnya artikel tersebut.

2. Zainul Yasni. Hatta Menjawab. Terbit tahun 1978.
Berisi wawancara Hatta yang dilakukan oleh Zainul Yasni.

3. Hatta: Portrait of Patriot.
Berisi terjemahan-terjemahan tulisan Bung Hatta dalam bahasa Inggris.

4. Tulisan Hatta terbitan Bulan Bintang.
Ada beberapa artikel dari Daulat Ra'yat di sini.

0 comments: