Thursday, July 27, 2017

Simulasi Perpu Ormas : FPI dan Ormas Yang Sering Bentrok

Perpu Ormas menambahkan sanksi pidana di luar sanksi administratif untuk pasal 52 dan pasal 53. Ada yang berpendapat bahwa unsur pidana ini kelak ada pengadilan sendiri untuk unsur pidana-nya. Jika diperhatikan, sanksi pidana itu untuk ormas dan ketentuannya diperjelas di pasal 82A, yakni ditujukan kepada anggota untuk ormas yang melanggar ketentuan pasal 59 ayat 3 dan 4. Cukup aneh bahwa tidak ada ketentuan pidana untuk yang melanggar pasal 52 tentang ketentuan larangan untuk ormas yang didirikan oleh warga negara asing.

Kembali ke ketentuan pidana di Perpu Ormas, bagaimanakah cara pembuktiannya? Apakah yang dibuktikan ormas-nya itu memang melanggar atau keanggotaannya saja? Jika keanggotaannya saja, jangan-jangan keputusan pembubaran ormas oleh pemerintah sudah cukup sebagai bukti ormas melanggar ketentuan dan pengadilan pidana hanya membuktikan keanggotaan terdakwa.

Ada pembagian pidana terhadap anggota ormas yakni:
1. untuk anggota ormas yang melanggar pasal 59 ayat 3c (kekerasan) dan 3d (main hakim sendiri), maka dipidana penjara antara 6 bulan hingga satu tahun.

2. untuk anggota ormas yang melanggar pasal 59 ayat 3a (tindakan permusuhan), 3b (penodaan agama), atau 4 (anti-Pancasila, anti-NKRI, mirip dengan ormas terlarang), maka dipidana penjara antara 5 tahun hingga 20 tahun.

Yang menarik, ada ayat 3 dari pasal 82A yang memperjelas bahwa selain pidana sebagaimana yang dimaksud di ayat (1) -- ini terkait Ormas yang melakukan kekerasan dan main hakim sendiri -- akan ada pidana tambahan sebagaimana diatur dalam perundang-undangan pidana.

Coba saya pakai simulasi seandainya saya anggota FPI yang kemudian dibubarkan dengan Perpu ini dan saya ditanggap sebagai anggota FPI.
Pertama, ada pasal 82A ayat 1 yang jelas membutuhkan bukti bahwa
1. saya anggota FPI
2. FPI adalah ormas yang melanggar ketentuan di Perpu Ormas.

Pertanyaannya, bagaimana definisi "ormas yang melanggar" itu dibuktikan? Jangan-jangan cukup hanya dengan pernyataan pemerintah saja? Jujur, saya tertarik bila kelak ada korban Perpu menggugat ke PTUN jika gugatan ke MK kandas karena saya ingin tahu dalam praktek alat bukti dan barang bukti apa saja yang dibutuhkan dalam proses pasal 82A ini.

Untuk melanjutkan simulasi, mari asumsikan bahwa ternyata untuk membuktikan kalimat "ormas yang melanggar" itu, pemerintah ternyata juga harus memberikan bukti-bukti aksi atas tindak kekerasan ormas tersebut, namun pemerintah tetap tidak harus membuktikan bahwa saya terlibat dalam setiap aksi kekerasan ormas tersebut.
Bagaimana jika ternyata dalam FPI, saya cuma sekedar numpang mengaji? Bagaimana kalau di FPI, saya cuma bagian dokumentasi ? Bagaimana jika di FPI saya sekedar latihan silat? Bagaimana jika di FPI saya sekedar berfungsi sebagai advokasi?
Jadi saya dihukum atas tindakan kekerasan padahal saya sendiri sebagai individu tidak melakukan. Jika pemerintah mampu membuktikan saya terlibat dalam aksi kekerasan atau main hakim sendiri, maka jatuhnya adalah pidana tambahan sesuai pasal 82A ayat 3 tadi.

Silakan ganti FPI ini dengan salah satu ormas yang beberapa kali terlibat kekerasan seperti serikat buruh, kelompok berbasis etnis kedaerahan, ormas pemuda pendukung partai. Saya gak perlu menyebutkan satu persatu ormas mana saja, kan?

UPDATE pada 30 Desember 2020
Pemerintah resmi menyatakan FPI sebagai anggota terlarang. Saya mencari tahu apakah Pasal 82A yang saya bahas ini sudah pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan ternyata sudah ada pembatasan tafsir. 

Terhadap permohonan yang teregistrasi  Nomor 2/PUU-XVI/2018 ini, Mahkamah melalui Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjabarkan bahwa rumusan norma dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas menyatakan adanya pihak yang diancam dengan pidana oleh ketentuan tersebut bukanlah seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas. Melainkan seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan, di antaranya melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

“Dengan demikian, seseorang meskipun menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas namun tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut, maka orang yang bersangkutan bukanlah subjek yang diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas,” ujar Palguna di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya.

Selain itu, tambah Palguna, seseorang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas adalah jika ia melakukan perbuatan yang dilarang itu dengan sengaja dan dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang didasarkan pada proposisi bahwa seseorang diancam pidana karena orang itu menjadi anggota atau pengurus ormas padahal yang melakukan pelanggaran adalah ormasnya adalah tidak benar.  

Jadi semoga dengan pembatasan tafsir oleh MK ini akan mencegah tindakan berlebihan. 



catatan:
artikel ini pertama kali muncul di Hukumpedia tanggal 20 Juli 2017.



Putusan MK 2/PUU-XVI/2018 ini bisa dibaca di: 


0 comments: