Tuesday, February 14, 2017

Haruskah Islam Dilepas dari Politik ?

Islam itu bukan sekedar agama untuk pribadi tetapi juga panduan dalam berpolitik, sebuah ideologi. Jadi Islam sejak awal dalam sejarahnya tak terpisahkan dari politik.

Ketika Islam lepas dari politik, maka hasilnya adalah koruptor yang merasa dirinya sudah cukup dengan ibadah-badah ritual tetapi saat menjalankan kekuasaan ia seakan lupa bahwa ada Allah yang mengawasinya. Padahal Islam, sesuai namanya, mengisyaratkan ketertundukan manusia pada Allah semata, tidak pada setan, tidak pada hawa nafsunya sendiri.

Ketika Islam tak lepas dari politik, maka hasilnya adalah orang-orang macam Umar bin Khattab, Umar ibn Abdul Aziz, Faisal ibn Abdulaziz al-Saud. Atau jika di Indonesia, ketika Islam tak lepas dari politik maka hasilnya adalah orang-orang macam Mohammad Hatta, Natsir, Agus Salim, bahkan Hakim Bismar Siregar atau Jaksa Agung Baharuddin Lopa.

Nah, yang membedakan adalah, bagaimana masing-masing tokoh itu menafsirkan ideologi tersebut dan menerapkannya dalam masyarakat. Itu sebabnya "ijtihad", "tafsir", dengan demikian Islam menjadi luwes. Begitu juga dalam sejarah politik Islam, musyawarah dan perjanjian damai juga merupakan bagian dari ajaran Islam.

Apa kalian kira, ketika Mohammad Hatta membujuk kelompok Islam untuk menanggalkan 6-7 kata dari Piagam Jakarta itu karena beliau memisahkan politik dari Islam ? Tidak, dia menggunakan teladan Rasulullah ketika membuat perjanjian Hudaibiyah dan mencari 'kalimatun sawa'. Dan ulama-ulama seperti Daud Bereuh (Aceh) dan Hasyim Asyari (Jawa Timur) pun menyadari pola pikir ini ketika mereka memutuskan untuk bergabung, berjuang bersama Pemerintah Republik Indonesia di masa perang.

Bung Karno, ketika pidato 1 Juni 1945 pun juga menyadari bahwa Islam tidak lepas dari politik. Dalam pidato tersebut ia mengatakan, "Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat ini agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam kdalam badan perwakilan ini.".

Jadi himbauan melepaskan agama dari politik, dalam masyarakat Islam adalah himbauan ahistoris, himbauan yang tidak memahami ajaran Islam.

Nah, terkait pemilihan pemimpin,
tak perlu dikhawatirkan. Umat Islam sudah menyepakati dalam bentuk undang-undang bahwa tidak ada persyaratan agama sebagai calon pemimpin dan pemimpin dipilih rakyat. Perkara apakah rakyat memutuskan apakah awliya itu berlaku dalam konteks pemimpinan modern, serahkan pada rakyat. Nahdlatul Ulama, salah satu ormas Islam yang memiliki massa besar, membuka kemungkinan non-muslim menjadi pemimpin walau dengan syarat kekhususan yang ketat. Partai Keadilan Sejahtera, salah satu partai Islam, sudah pernah mencalonkan kandidat non-muslim.

0 comments: