Friday, January 27, 2017

Paradigma Pelebaran Sempadan Kali Dalam Kota



Bolehkah saya iseng ngobrolin kali walaupun saya sebenarnya gak punya ilmunya?

Dahulu, saya sering tidak mengerti dengan Komunitas Ciliwung (ini beda dengan Ciliwung Merdeka-nya Romo Sandyawan yah) yang terus-terusan mengritik tentang pembangunan turap (beton) di sekitar kali.

Nah, ternyata, katanya di beberapa negara maju memang sudah mulai berubah paradigma-nya. Kalau kalian ingat debat (non-resmi) cagub yang pertama, si Nirwono Joga si panelis mengritik Basuki di situ. Dia bilang, sekarang itu, trend-nya bukan mengalirkan air secepatnya ke laut melainkan bagaimana kota menampung air sebesar-besarnya ke dalam tanah.

Benar, salah satu penanggulangan sungai adalah penataan sungai dan baik model turap + jalan inspeksi maupun model alternatif yakni pelebaran sempadan, ada kemungkinan melibatkan pemindahan penduduk dari pinggir kali (ntar dijelaskan nanti).  Namun sekarang kita bicara tentang pelebaran sempadan.

Nah, salah satu yang mulai  menerapkan paradigma itu adalah Singapura, dengan Taman Bishan Ang Mo Kio di sekitar Sungai Kallang. Berikut adalah sketsa menunjukkan pelebaran sempadan alih-alih menggunakan turap.





Dan berikut adalah tampilan Sungai Kallang sebelum dilakukan perubahan paradigma tadi:


Dan berikutnya adalah tampilan Sungai Kallang setelah diterapkan perubahan paradigma. Bisa dilihat, sungai jauh lebih 'normal' dan lebih alami.




Pertanyaannya, kalau ada luapan air sehingga banjir bagaimana bentuknya?


Saya yakin, yang terpikir pasti adalah "yah.. kok tetap banjir? Kenapa tidak buat tanggul yang tinggi?"

Sebenarnya, banjirnya sudah diantisipasi... ada penanda merah untuk batas.



Jadi apakah keunggulannya memperlebar sempadan alih-alih menggunakan tanggul?
Walau sebenarnya sama-sama untuk menanggulangi air sungai yang meluap, model memperlebar sempadan ini :

1. ramah terhadap ekosistem. Di Taman  Bishan Ang Mo Kio , biodiversity (keanekaragaman flora dan fauna) meningkat 30%. Telah muncul beberapa hewan di sekitar sungai.

2. Tak ada ancaman tanggul jebol seperti yang beberapa kali terjadi di Jakarta tahun lalu. (daripada capek-capek teriak "sabotase! sabotase!")

Sekarang lihat lagi foto banjir terbaru di taman.



Itu tampilan "banjir" di Taman Bishan Ang Mo Kio beberapa hari lalu. Perhatikan, jembatan masih berfungsi karena memang sudah diperkirakan luapan airnya.

Semua foto-foto di atas berasal dari http://mothership.sg/2017/01/heres-why-you-shouldnt-be-alarmed-by-pictures-of-flooding-in-bishan-ang-mo-kio-park/


Nah, kalau Ciliwung Merdeka (sekarang kayaknya jadi Forum Kampung Kota), idenya nyeleneh, nimbrung dari paradigma tadi. Seperti yang kubilang, untuk ide tadi, mau gak mau rumah di pinggir kali pun harus digusur. Namun kawan-kawan Ciliwung Merdeka yang anti penggusuran mencoba berkompromi dengan paradigma baru ini.

Model mereka agak mirip rumah panggung. Ketika banjir, ya biarkan kebanjiran.


Sebenarnya, ini yang dimaksud dengan "kota apung" versi Agus Harimurthi Yudhoyono walaupun istilah "apung" itu menyesatkan.

Setahu saya, konsep ini belum diterapkan di kota manapun, setidaknya, belum diterapkan pada air yang mengalir.

Tentu saja masih bisa diperdebatkan seperti... adakah landasan hukum yang membolehkan bangunan permanen di atas sungai.


Untuk lebih tahu tentang versi Ciliwung Merdeka (tampaknya sekarang sudah menjadi Forum Kampung Kota ya?), bisa lihat
https://medium.com/forumkampungkota/kampung-susun-manusiawi-kampung-pulo-4eb363c74b31#.sxf2kfvy7


Saya baru mengetahui, ternyata Ridwan Kamil diam-diam juga sedang tertarik dengan konsep itu. Ada kawan yang menyuruh saya mengintip Instagram beliau.



Penjelasan Kang Emil:
"Bulan ini sudah dimulai lelang beberapa proyek danau retensi utk menangani banjir Pagarsih dll. Ini adalah danau retensi di area Sirnaraga. Jika kemarau jadi lap olahraga warga, jika musim penghujan menjadi parkir air sungai Citepus. Doakan lancar agar tengah tahun sdh selesai. Nuhun. *jika kolamnya penuh dgn lumpur, cocok buat membuang mantan."

Bisa dibaca di https://www.instagram.com/p/BPbcx04AJQ2/


Konsep Kang Emil, sedikit mengingatkanku pada rencana di Kopenhagen.


bisa dilihat di: http://citiscope.org/story/2016/why-copenhagen-building-parks-can-turn-ponds

Saya agak penasaran, terbuat dari apa ya  alasnya? Kalau di Kopenhagen, nantinya ada alat pompa yang penggeraknya adalah energi anak-anak (yup... Perbudakan Anak-Anak versi modern ! ☺☺☺☺☺)

Hmmm... mungkinkah untuk konsepnya Ridwan Kamil alas-nya pakai material semacam ThruCrete, beton yang bisa menyerap air? Bahan ini digunakan untuk pembuatan trotoar di Melawai.


Cukup sekian saja ngobrolin kalinya.


0 comments: